Kulihat kembali tumpukan surat kabar di rak meja ruang tamu.
“Kecelakaan Garuda Tewaskan Ratusan orang,” itulah topik yang selalu
diberitakan dan menjadi hampir di semua surat kabar nasional yang terbit
sekitar sebulan lalu. Tragedy itu jugalah yang menewaskan kedua orang
tuaku dan membuat adikku satu-satunya terbaring koma sampai detik ini.
Ada rasa sesal, sedih, kecewa, marah, dan benci yang teramat sangat.
Kalau saja Tita adikku, tidak selalu merengek ingin liburannya ke Paris,
pasti kecelakaan itu tidak akan membuatku, yang masih menjadi mahasiswa
tingkat III, menjadi yatim piatu secepat ini.
Mungkin predikat anak sial yang kudeklarasikan untuk Tita memang
tidak salah. Selama 15 tahun kurasakanbetapa bahagianya menjadi anak
tunggal yang selalu dimanja. Orang tuaku yang merupakan pengusaha sukses
selalu memberikan apapun yang kuminta. Tapi kehadiran seorang adik di
tengah-tengah kami menjadikan hidupku berubah 180 derajat. Mama lebih
memperhatikan Tita, dan menyuruhku selalu mengalah. Tidak hanya itu,
kedua orang tuaku pun selalu membelanya meskipun jelas-jelas Tita-lah
yang bersalah. Ibarat putri raja yang seketika menjadi anak tiri.
Menyebalkan !!! Kebencian itu sudah kupupuk semenjak mama dinyatakan
positif hamil. Dan setiap hari hanya stress yang aku rasakan bila sudah
berada di dalam rumah, karena tidak ada sedetik pun yang terlewat bahi
Tita untuk tidak mengganguku.
Kejadian kecelakaan itu tidak membuat setitik pun rasa iba, bahkan
kebencianku semakin memuncak padanya. Dialah yang merebut
kebahagiaanku, dan dialah yang telah merenggut nyawa kedua orang tuaku.
Kejadian itu benar-benar membawa kesialan bagi kehidupan pribadiku. Aku
sudah tidak ada waktu lagi untuk jalan dengan teman-temanku. Bahkan
Indra, pacarku, memutuskan hubungan kami hanya karena aku terlalu sibuk
dengan Tita. Selama sebulan di rumah sakit, aku baru menjenguk Tita 3
kali, itupun hanya untuk mengurus administrasi dan sekerdar formalitas
di depan dokter saja.
Hari ini aku menjengik Tita. Gadis kecil yang diperlengkapi dengan
selang dan alat bantu kehidupannya lainnya itu, terbaring di ruang ICU
yang cukup luas dan bernuansa putih-putih. Saat melihat wajah itu hatiku
selalu menjerit, “Dasar Pembunuh!! Kenapa kamu tidak mati saja
sekalian! Anak sial, kamu tidak hanya merebut mama dan papa tapi
teman-teman saya, Indra, dan semua kebebasan saya!!” tak terasa air mata
mengalir di pipiku, bukan air mata kesedihan, tapi jelas air mata
kebencian. Kenapa Tuhan tidak mencabut nyawanya saja sekalian.
Kehidupannya hanya akan menjadi beban seumur hidupku!!
Tak kuasa menahan tangis, akhirnya aku keluar menuju taman
rumah sakit dan duduk di salah satu bangku taman yang terlindung
sengatan matahari oleh sebuah pohon yang rindang. Dan di situlah air
mataku mengalir deras. Tiba-tiba kusadari ada gadis kecil dengan rambut
dikuncir dua sedang memperhatikanku. Seketika itu pula aku teringat
Tita, dan kebencian itu mendidihkan darahku kembali.
“Ngapain
sih? Tidak ada kerjaan apa ngeliatin orang nangis. Anak kecil kayak
kamu bukannya sekolah malah main-main di rumah sakit!” bentakku.
Yang dibentak hanya tersenyum.
“Namaku Rara, kakak siapa?”
“Yee… nih anak bukannya pergi. Udah deh, kakak lagi stress, jangan bikin kepala kakak jadi mumet.”
“Semua
orang yang ke rumah sakit pasti mumet, tapi itulah hidup, kadang sehat,
kadang sakit. Orang suka lupa sama tuhan kalau lagi sehat, tapi kalau
sakit, apalagi deket-deket mau meninggal, eh bukannya taubat malah
nyalahin Tuhan, kok tuhan ngasih cobaan seberat ini,” jawabnya yang
membuatku melongo.
“Ih, dasar anak kecil sok tahu!!”
“Aku tahu, adik kakak sedang koma ya”
“Gak usah dibahas deh!! Gara-gara dia, mama dan papa meninggal.”
“Dia
beruntung karena dia masih punya kakak. Aku juga sakit. Suatu saat
nanti Tuhan akan mengambil penglihatanku, tapi aku yakin Tuhan akan
membantu dalam kebutaanku karena Dia selalu adil pada semua orang, dan
tidak akan membiarkan seorangpun mendapat cobaan yang tidak bias
ditanggungnya.”
***
Kejadian hari itu
benar-benar telah membuka mata hatiku. Seorang anak kecil telah
mengajarkanku arti kehidupan. Ia benar, Tita hanya tinggal memilikiku.
Aku tak pernah membayangkan bagaimana perasaannya saat ia tahu mama dan
papa telah meninggal.
Entah mengapa akhir-akhir ini aku
malah merindukan kehadiran Tita. Rumah ini benar-benar sepi tanpa canda
dan kata-kata polosnya yang selalu membuat mama terpingkal-pingkal.
Kulangkahkan kakiku ke kamar Tita di lantai atas. Kamar yang bernuansa
pink, gambar kartun dimana-mana. Kamar yang tak pernah kudatangi sejak
tragedi itu.
Tiba tiba mataku menangkap sebuah buku harian
bergambar mickey mouse. Kubuka lembar demi lembar. Tak kusangka gadis
berusia 7 tahun itu menulis segalanya tentang diriku.
“Kak
Aurora adalah kakak paling cantik di dunia. Aku sayang padanya, amat
cinta padanya. Aku hanya ingin kakak bahagia, aku ingin seperti
teman-teman, aku ingin kakak mengajakku jalan-jalan, aku ingin kakak
mengajariku matematika, karena dia sangat pintar. Tapi kok kakak tak
pernah mau ya?? Aku sedih. Aku pernah Tanya sama mama apa kakak
membenciku, tapi kata mama kakak sangat saying padaku, dia Cuma tidak
enak badan, makanya malas ngomong sama aku. Aku suka ngejailin kakak,
karena aku mau main sama kakak, tapi aku sedih karena kakak menampar
mukaku. Aku tidak bilang sama papa, takut kakak dimarahi, dan nanti
malah membenciku. Aku nangis semalaman saat kakak membuang kado ulang
tahun yang aku kasih, padahal aku membeli kado itu dengan uang jajan
yang aku tabung selama seminggu, sampai-sampai aku lapar karena tidak
bisa jajan. Kakak,marah-marah waktu baju pestanya bolong. Tadinya aku
Cuma ingin menyetrika baju itu biar tidak kusut, tapi pas lagi nyetrika,
aku dipanggil mama, eh aku lupa, bajunya jadi bolong, terus aku
dimarahin abis-abisan deh.
Diari, aku punya rahasia
besar!! Kakak kan punya pacar namanya Indra, tapi aku tidak suka sama
dia!! Aku tau dia punya pacar lain, kak veronica, sahabat kak Aurora.
Aku pernah liat meraka mesra-mesraan waktu aku nganterin mama ke mall.
Tapi aku tidak berani bilang karena aku takut kakak marah dan tidak
percaya, aku takut ditampar kayak waktu itu. Asyiik… besok aku ke Paris
sama mama dan papa, tapi kakak tidak ikut karena lagi ujian, tapi aku
janji akan beliin oleh-oleh yang buaaaanyak untuk kakak. Aku ingin kakak
juga bahagia…”
Air mataku mengalir deras, kapalaku
seperti terhantam ombak. Ya Tuhan, bagaimana selama ini aku
menyia-nyiakan adik kandungku. Kecintaannya kepadaku yang mendalam malah
kubalas dengan kebencian yang membara. Kado itu, baju pesta itu, dan
tamparan yang merupakan puncak kekecewaanku, rahasia tentang
Indra…..BODOH!!! Kamu adalah manusia yang paling kejam di dunia, Aurora.
Adik yang bagaikan malaikat itu telah kau sakiti hatinya! Telah kau
robek perasaannya! Adik yang selalu mengingatmu dan selalu berusaha
untuk membahagiakanmu, malah kau tindas! Aku kembali teringat dengan
tamparan itu. Aku menamparnya dengan sangat keras, sampai pipinya
benar-benar merah, tapi ia hanya tersenyum dan bilang “Terima kasih,
Kak.”
Ya Tuhan, izinkan aku untuk menebus dosa dan
kesalahanku. Tapi….semua itu terlambat. Tepat pukul 23.00 WIB malam itu,
pihak rumah sakit meneleponku dan mengabarkan Tita telah pergi untuk
selama-lamanya.
Sekarang aku sendiri, hanya sendiri.
Permohonan bodohku agar Tuhan mengambil nyawa adikku benar-benar
terkabul. Seminggu setelah pemakaman Tita, aku kembali ke rumah sakit
untuk menemui Rara, tapi pihak tumah sakit mengatakan bahwa Rara telah
meninggal semingu yang lalu. Ia terlindas truk, karena pada saat
menyeberang, penyakit gloukoma yang selama ini dideritannya telah
menyebabkan kebutaan yang mendadak, sehingga ia tak mampu melihat saat
ada truk yang melintas. Rara adalah gadis kecil yang selama ini dirawat
oleh pihak rumah sakit. Dulu, Rara ditemukan di sebuah selokan karena
dibuang oleh ibu kandungnya sendiri.
Dua orang gadis kecil
yang telah mengajariku arti kehidupan dan memberikan cinta kepadaku,
kini telah pergi untuk selamanya. Hanya penyesalan yang tersisa, tapi
itu menjadi pelajaran yang amat berarti untuk masa depanku. Merakalah
malaikat kecil yang selalu ada dan tetap aka nada untuk selamanya di
dalam hatiku